Senin, 19 Mei 2008

Sabtu, 17 Mei 2008

TOLAK PRIVATISASI

Privatisasi perusahaan-perusaha an Negara terbukti telah membuat ribuan buruh dan rakyat Indonesia tidak sejahtera. Penolakan terhadap privatisasi perusahaan BUMN pun telah dilakukan ketika Indosat berpindah tangan ke Singapura. Bahkan setelah privatisasi dilakukan, sebagian buruh yang telah bekerja puluhan tahun harus rela untuk di-PHK.

Namun pada tahun ini, Komite Privatisasi telah memberikan persetujuan terhadap rencana Kementrian BUMN untuk memprivatisasi 34 perusahaan negara pada program privatisasi 2008. Bahkan rencana privatisasi 2007 yang tertunda sebelumnya, juga akan diprivatisasi pada tahun 2008. Persetujuan terhadap Kementerian BUMN dituangkan dalam keputusan Menko Perekonomian sebagai Ketua Komite Privatisasi nomer KEP-04/.EKON/ 01/2008 pada 31 Januari 2008.

Ada beberapa perusahaan Negara yang akan diprivatisasi pada tahun ini, seperti PT Asuransi Jasa Indonesia, PT Krakatau Steel, PT Bank Tabungan Negara, PT Semen Baturaja, PT Sucofindo, PT Surveyor Indonesia, dan PT Waskita Karya. Selain itu perusahaan yang juga akan dilego oleh pemerintah adalah Bahtera Adiguna, Barata Indonesia, PT Djakarta Lloyd, PT Sarinah, PT Industri Sandang, PT Sarana Karya, PT Dok Kodja Bahari, PT Dok & Perkapalan Surabaya, PT Industri Kereta Api, PT Dirgantara Indonesia, PT Kertas Kraft Aceh, PT INTI, Virama Karya, Semen Kupang, Yodya Karya, Kawasan Industri Medan, Kawasan Industri Makasar, Kawasan Industri Wijaya Kusuma, PT SIER, PT Rekayasa Industri, dan Kawasan Berikat Nusantara. Sedangkan perusahaan Negara yang tertunda pada tahun 2007 untuk diprivatisasi dan akan dilego pada tahun ini antara lain Garuda Indonesia, Merpati Nusantara, dan Industri Gelas

Program privatisasi ini adalah merupakan agenda perjanjian antara Indonesia dengan IMF pada tahun 1998. Namun terbukti, di beberapa negara, termasuk Indonesia, “resep” yang diberikan IMF pada negara-negara yang terkena crisis tidak menyelesaikan masalahnya. Bahkan “resep” tersebut menambah kesenjangan sosial yang terjadi di masyarakat. Kemiskinan semakin bertambah akibat “resep” yang diberikan oleh IMF.

Berlanjutnya program Privatisasi ini menunjukan bahwa pemerintah SBY-JK masih tunduk dan patuh terhadap perintah IMF dalam melaksanakan politik ekonomi Neoliberal. Kembali rakyat Indonesia dipertontonkan bahwa pemerintah memang lebih berpihak kepada para kaum pemodal, baik asing maupun domestik. Karena jelas, program privatisasi ini hanya mengejar laba atau keuntungan bagi para pembelinya. Seperti yang diungkapkan oleh Meneg BUMN Sofyan Abdul Djalil bahwa pelepasan saham perusahaan kepada investor srategis bisa meningkatkan valuasi entitas bisnis yang bersangkutan

Namun dampak dari program privatisasi itu adalah pemecatan terhadap para pekerja atau buruh yang telah bekerja di perusahaan negara tersebut. Hal ini dilakukan demi efesiensi dan efektifitas perusahaan tersebut untuk mengejar laba. Bahkan harga produk yang dikeluarkan oleh perusahaan-perusaha an tersebut tentunya juga akan naik dan tidak mungkin dijangkau oleh rakyat Indonesia. Hal ini akan sangat berbahaya bagi kedaulatan Indonesia, karena jelas investor-investor perusahaan tersebut akan semakin mencengkeram kedaulatan Indonesia. Kebijakan-kebijakan pemerintah akan diintervensi oleh kepentingan- kepentingan para investor tersebut, seperti yang terjadi saat ini.

Maka darii tu, Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) menyatakan sikap:

Menolak program privatisasi yang telah disetujui oleh pemerintah, karena program privatisasi ini hanya akan menambah angka pengangguran dan kemiskinan di Indonesia
Pemerintah SBY-JK telah gagal dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia karena masih mementingkan kepentingan para kaum pemodal dibandingkan rakyat Indonesia.
Menolak seluruh agenda sistem politik ekonomi Neoliberal yang dijalankan pemerintah Indonesia saat ini
Kepada seluruh gerakan rakyat di Indonesia untuk menolak agenda Neoliberalisme di Indonesia dan membentuk persatuan perlawanan gerakan rakyat multisektor

diskriminasi upah buruh

Salah satu bentuk diskriminasi di pasar kerja yang banyak mendapat sorotan adalah diskriminasi upah menurut jenis kelamin. Perusahaan dianggap melakukan pembedaan upah tanpa kriteria obyektif atau terkait dengan kinerja buruh.

Praktik pembedaan upah antara perempuan dengan laki-laki di kalangan buruh tani sudah berjalan sejak sangat lama. Entah siapa yang memulai, buruh tani perempuan diberi upah yang nilainya sekitar 75 persen dari upah buruh tani laki-laki.

Padahal tidak sedikit jenis pekerjaan di sektor pertanian yang secara umum lebih baik hasilnya jika dikerjakan perempuan. Artinya, perbedaan produktivitas bukanlah alasan pembedaan upah tersebut.

Sekarang, setelah sekian lama gerakan penghapusan segala bentuk diskriminasi demikian kencang jalannya, sangat menarik melihat apakah praktik diskriminasi upah tetap terjadi. Juga menarik melihat apakah kebijakan pemerintah bisa memainkan peran penting dalam penghapusan diskriminasi upah.

Upah atau pekerjaan?

Tabel menunjukkan, buruh perempuan di Indonesia menerima upah lebih rendah daripada buruh laki-laki. Secara rata-rata keseluruhan buruh perempuan hanya menerima 74 persen dari upah yang diterima buruh laki-laki.

Perbedaan upah buruh itu konsisten di setiap provinsi, dengan rasio upah perempuan dibandingkan dengan laki-laki yang bervariasi. Di Banten dan Kalimantan Timur, buruh perempuan hanya menerima 62 persen dari upah buruh laki-laki, yang merupakan kondisi terburuk dibandingkan dengan provinsi lain. Sementara itu, di Sulawesi, kondisinya lebih baik, rasio upah buruh perempuan dengan laki-laki 89 persen-99 persen.

Tuduhan diskriminasi upah tidak dengan serta-merta bisa dialamatkan kepada pengusaha. Ada dua situasi yang memang terkait, tetapi bisa dibedakan satu dengan lainnya, yakni diskriminasi upah dan diskriminasi pekerjaan.

Diskriminasi upah merupakan pembedaan upah buruh pada pekerjaan, kualifikasi, jam kerja, kinerja, serta kondisi lain yang semuanya sama. Jadi, pembedaan upah dilakukan semata-mata karena pertimbangan jenis kelamin.

Sementara itu, diskriminasi pekerjaan tidak mengenal pembedaan upah antara laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan sama, tetapi membatasi akses perempuan pada pekerjaan tertentu. Lebih spesifik lagi, perempuan hanya diberi akses untuk pekerjaan "marjinal" yang upahnya lebih rendah.

Ada berbagai alasan perusahaan melakukan diskriminasi pekerjaan. Pertama, prasangka pekerjaan tertentu hanya bisa dilakukan laki-laki, atau perempuan hanya cocok melakukan kerja tertentu. Ini dapat dilihat pada iklan lowongan pekerjaan di berbagai media massa.

Kedua, peraturan tentang hak-hak pekerja perempuan, sehingga merekrut pekerja perempuan dianggap "merugikan" perusahaan. Contohnya, aturan tentang cuti, khususnya cuti haid dan cuti melahirkan.

Di satu sisi, peraturan ini positif, karena sangat melindungi pekerja perempuan terkait dengan fungsi reproduksinya. Akan tetapi, dari sudut pandang perusahaan, ketentuan ini membuat pekerja perempuan sangat berpotensi memiliki hari kerja lebih rendah daripada laki-laki, sementara gajinya harus terus diberikan ketika cuti.

Apa pun alasannya, kedua bentuk diskriminasi tersebut sama buruknya bagi buruh perempuan. Lantas, terkait dengan perbedaan upah sebagaimana terlihat dalam tabel, yang mana yang terjadi di Indonesia?

Pertanyaan tersebut bisa dijawab melalui analisis regresi yang bisa mengontrol pengaruh variabel lain (selain jenis kelamin). Hasil analisis Pusat Kajian Kebijakan Publik Akademika menunjukkan, diskriminasi upah buruh perempuan memang terjadi.

Pada tingkat pendidikan, jam kerja, umur, dan daerah yang sama, secara statistik terbukti buruh perempuan menerima upah lebih rendah daripada laki-laki. Setelah dikontrol dengan berbagai variabel tersebut, perbedaan upah mencapai Rp 216.000 sebulan.

Digabung dengan fenomena empiris yang teramati antara lain dari iklan lowongan pekerjaan di media massa, hasil analisis tersebut menunjukkan, di Indonesia terjadi dua jenis diskriminasi (upah dan pekerjaan) sekaligus bagi buruh perempuan.

Penutup

Meskipun secara statistik terbukti, tidak mudah membuktikan diskriminasi tersebut di lapangan. Itu berarti tidak mudah juga mengatasinya. Selain dengan peraturan jelas dan tegas tentang larangan praktik diskriminasi, khususnya dalam perekrutan dan upah, diperlukan kerja sama berbagai pihak.

Pemerintah perlu memberi perhatian lebih besar terhadap masalah ini. Selama ini ada kesan pemerintah hanya "sibuk" mengurus upah minimum.

Tidak ada salahnya pemerintah mengawasi lebih ketat kebijakan perusahaan dalam perekrutan dan pengupahan. Misalnya, perusahaan dilarang memasukkan kriteria jenis kelamin dalam perekrutan.

Diskriminasi upah dalam perusahaan lebih sulit diatasi, kecuali jika ada pengaduan dari pihak buruh. Karena itu, serikat buruh/pekerja juga perlu memberi perhatian lebih besar terhadap kasus ini. Hal itu bisa dimulai, antara lain, melalui keterlibatan perempuan yang lebih besar dalam serikat buruh/pekerja.

NIETSCHE

Nietsche yang beranggapan bahwa apa yang disebut rasa salah moral itu tak lain dan tak bukan hanyalah perasaan anak kecil atau perasaan budak. Rasa salah dan rasa dosa semua itu adalah kebohongan. Bahkan secara ekstrim Nietsche mengajak untuk tidak perlu sama sekali manusia itu merasa bersalah atau berdosa. Bahkan dalam bukunya Der Wille Zur Macht bicara tentang adil dan tidak adil sesungguhnya ôansichö hanya omong kosong belaka, karena baginya melukai, menindas dan memeras bahkan membinasakan adalah fungsi pelaksanaan hidup. Bagi Nietsche rasa bersalah hanyalah degenerasi atau pertumbuhan yang salah. Bila seorang bertindak sebagai ubermensch dan suatu bangsa bertindak sebagai herrenvolk atau bangsa yang dipertuan besar maka tidaklah perlu lagi norma-norma apapun juga.